TA'AWANU 'ALAL BIRRI

Minggu, 04 Juli 2010

KITAB SUCI

Oleh: Fatma Elly

YA APALAGI kalau bukan ini?

Diambilnya Al Qur’an itu.

Alhamdulillah, Al-Qur’an memang obat mujarrab untuk segala kerisauan. Penawar hati di dada. Penyembuh peyakit. Petunjuk dan rahmat. Menjadikan diri tenang dan tentram. (QS 10:57, 13:28.)

Lembaran halaman dibukanya dengan hati-hati.
Terhenti di surah 17, ayat 1. Sebelum membacanya, terlebih dahulu dipohonnya perlindungan Allah terhadap godaan setan yang terkutuk.

“Apabila kamu membaca Al Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (QS 16:98)

Dibacanya Nama Allah Yang Maha Pengasih Dan Penyayang.

SETELAH ITU, QS 17:1, mulai diperhatikan:

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Ayat itu diamati.

“Ya Allah ya Rabb! Tidak sia-sia Engkau memperjalankan hamba-Mu dari Masjidil Haram di Mekkah, ke Masjidil Aqsha di Baitul Magdis. Jerusalem. Palestina. Hingga ke Sidratul Muntaha, di langit yang ketujuh.”


Seketika pikirnya melayang. Alisnya berkernyit. Bibirnya tergerak. Pikir dan ingatannya tertuju pada QS 55:33:

“Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan”.

“Untuk bisa menembus atau melintasi penjuru langit dan bumi, diperlukan kekuatan. Bukan berjalan sendiri tanpa ‘aspek sesuatu’ berada di baliknya,” pikirnya mulai mengelana.

“Dan kekuatan Allah, alangkah tidak terbatasnya!” serunya. “Sedang kekuatan manusia, hanya diberikan sebatas izin-Nya.”

Kepalanya pun manggut-manggut.

“Di era globalisasi ini, kekuatan itu adalah ilmu dan teknologi. Dan betapa sekarang, Barat memiliki ilmu dan teknologi yang tinggi.” Lamunannya menerawang.
Mulutnya seakan bergumam:

“Dengan ilmu itu, kini, orang-orang Barat dapat menguasai dunia. Padahal ditilik dari sejarah, mereka mengalami pencerahan, awalnya dari tangan kaum muslimin. Di Spanyol, Sekolah Tinggi Toledo, sekitar abad 10, mereka menyerap dan belajar ilmu pengetahuan itu. Hingga mengantarkannya pada renaisans,” pikirnya melayang.

“Dan ilmu-ilmu yang bersifat pragmatis praktis pun, mereka peroleh dari budaya dan peradaban Islam. Juga filsafat Yunani, mereka dapat melalui tangan-tangan orang Islam.”

Matanya merenung-renung pula. Wajah dan mulutnya nyinyir dan getir.

“Sejak abad 15-16 M, mereka bangkit. Pasca renaisans, lewat revolusi industri di abad 18, mereka berkembang dan menguasai ilmu pengetahuan. Hingga kini, menjadi satu kekuatan raksasa yang mendominasi dunia!”


RASA GETIR itu, semakin mengurat-ngarit hatinya.

Dan ketika si ibu itu, masih di dalam kemurat-marutannya, baiklah, timpali dan isi saja, seru sang penyusun buku:

Kemunduran yang dialami kaum muslimin, disebabkan berbagai hal; intern maupun ekstern. Salah satunya adalah karena erosi iman. Pengabaian terhadap Kitab Suci Al Qur’an.

Haus kekuasaan, ketergiuran pada materi, cinta pada dunia, menuhankan hawa nafsu, mengikuti ajakan setan, terperangkap dalam apa yang direncanakan dan menjadi strategi musuh, adalah kelanjutan seterusnya penyebab kehancuran dan keterpurukan itu, di samping hal yang lain-lain lagi tentunya.

TETAPI YA AMPUN, lihatlah si ibu itu, rupanya ia jadi terperangah. Nafasnya serta merta tertarik dan terhembus. Berat dan panjang. Kepalanya tergeleng ke kanan dan ke kiri. Seolah tak mengerti, merasa sedih, atas perilaku dan keadaan yang membawa malapetaka itu.
Pikirannya kembali ke surah 17: 1.

“Di era Nabi, ilmu dan teknologi tidak seperti sekarang ini. Alat transportasi semacam sekarang, belum ada. Apalagi untuk melakukan perjalanan sebagaimana Rasul SAW.. ari Masjidil Haram di Mekkah, ke Masjidil Aqsha di Palestina. Bahkan angkasa luar, langit tujuh, Sidratul Muntaha, dalam waktu singkat. Semalaman. Beberapa jam saja..”

Ia seakan menerawang lagi.

“Hanya orang-orang beriman dan berkeyakinan penuh saja, yang mempercayai. Tanpa perlu argumentasi dan logika pikir ruwet!”

Tiba-tiba ia seperti mendengar suara itu mendenging di telinganya.

Tapi kemudian, ia ingat yang lain. Semacam penyanggahan.

“Orang sekarang senang berlogika,” gumamnya.

Dan mulai ikut memikirkan:

“Untuk perjalanan seperti itu, bukankah memerlukan alat transportasi yang canggih?”

Kepalanya tergeleng pula. Ke kanan dan ke kiri lagi. Tapi gerakan ini lebih banyak terisi kekaguman dan keterpesonaan akan ke Besaran, ke Maha Agungan, dan ke Maha Kuasaan Allah SWT.

Mulutnya pun bergumam: “Masya Allah!”

Disambung kemudian, dan diekspresikan lewat kalimat-kalimat yang disukai Tuhan:

“Subhanallah, Alhamdulillah, la ilaha illallah, Allahu-Akbar!”

(H.R Ahmad: “Kalimat-kalimat yang paling disukai oleh Allah adalah empat: Subhanallah, Alhamdulillah, la ilaha illallah, dan Allahu-Akbar. Dan tidak mengapa dengan yang mana engkau mulai.”

DI TENGAH kekaguman dan keterpesonaan itu, pikirannya melayang pula ke sebagian orang yang menganggap bahwa perjalanan Rasul SAW. itu, sebagai sesuatu yang ‘irrasional’. Yang kadang-kadang dianggap tidak masuk akal!

“Apakah ada bukti atau kesaksian yang jelas tentang hal ini dalam Al Qur’an dan Hadits yang sah, serta pendapat para ulama Islam yang besar-besar?” kadang-kadang mereka bertanya.

“Ataukah hanya dikemukakan atas dasar kitab-kitab dan Hadits yang tidak sah, dan tidak konsisten menurut bukti penulisan atau logika?” Orang sering bertanya pula.

“Dan kalau perjalanan itu dibenarkan dan dikuatkan oleh kesaksian yang tegas, maka apakah Muhammad SAW. telah melakukan perjalanan dalam bentuk jasadnya, ataukah hal itu hanya terjadi di dalam mimpi? rohani semata-mata?” Kadang orang bingung dan mempertanyakan.

“Kalau terjadi secara jasmani, alat atau cara apakah, yang dipakai? Bukankah ruang angkasa itu hampa udara? Banyak getaran listrik, berbagai macam sinar, meteor, dan lain-lain lagi yang membahayakan?”

“Terlebih lagi, bagaimana mungkin, dalam semalam bisa melakukan perjalanan seperti itu? bahkan sampai ke langit tujuh, Sidratul Muntaha?”

“Mustahil!” kata yang meragukan dan tidak percaya.

“Barangkali hanya mimpi!” cetus mereka.

BUKU YANG DIBACA

“Tapi, apa pula kata buku yang dibaca?” Ia mulai mengingat buku-buku tersebut.
“Beliau mengendarai ‘Buraq’, yang setiap langkahnya sejauh mata memandang, seolah-olah lari dengan kecepatan cahaya.”

Informasi yang diketahui dan diserap, seolah terkirim dan mengantarkannya ke telinga. (Fiqhus Sirah, Muhammad Al-Ghazaliy, PT. Alma’arif, hal 229).

"Buraq’ yang berasal dari akar kata ’barq’, berarti ‘kilat’. Semacam kekuatan arus listrik secara khusus diciptakan untuk keperluan perjalanan beliau itu,“ tandas Muhammad Al-Ghazaliy. Hadir dalam alun bayangnya pula itu.

“Akan tetapi, dalam keadaan biasa, tubuh manusia tidak sanggup menempuh perjalanan di cakrawala secepat kilat menyambar. Untuk itu diperlukan persiapan khusus, demi melindungi anggota tubuh dalam perjalanan sejauh dan secepat itu.”

“Saya kira, berita riwayat mengenai ‘pembelahan dada’ dan ‘pencucian hati’, bukan lain adalah merupakan perlambang yang menunjukkan persiapan yang telah ditetapkan,” lanjut Muhammad Al-Ghazaliy lagi dalam bukunya itu.

“Sejak dahulu, para ulama berbeda pendapat; apakah perjalanan malam itu dilakukan dengan roh saja, ataukah dengan roh dan jasad sekaligus?”

“Kebanyakan para ulama berpegang pada yang kedua,“ tulis Muhammad al Ghazaliy lagi (ibid hal 228).

Dan beliau berpendapat:

“Isra’ dan Mi’raj adalah suatu peristiwa yang dialami oleh Rasul Allah sendiri, dalam ruang-lingkup yang dapat dijangkau oleh roh yang telah mencapai daya pancar (Isyraq) tertinggi. Kepadatan jasad sebagai materi telah menjadi sedemikian ringan, sehingga dapat terlepas dari ketentuan hukum alam yang lazim berlaku bagi manusia biasa.”

INGATANNYA terus menerawang. Dan itu tertuju pada Sayyid Hussein Nasr; (Muhammad Kekasih Allah, Sayyid Husein Nasr, Mizan, 1993, hal 29), yang telah berkomentar dan menandaskan mengenai hal tersebut:

“Suatu peristiwa ajaib, terjadi pada tahun-tahun terakhir Nabi tinggal di Mekkah, yang meninggalkan bekas mendalam bagi seluruh kehidupan agama Islam, meski sulit dipahami oleh mereka yang dunianya telah di batasi hanya sampai dimensi hakikat fisik saja.”

Sedang DR Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy (“Sirah Nabawiyah”, Analisis Ilmiah Manhajiah terhadap Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah saw, DR. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, Robbani Press, 1977) mengungkapkan:

“Bahwa jumhur ulama, baik salaf ataupun khalaf, telah sepakat bahwa Isra’ dan Mi’raj dilakukan dengan jasad dan ruh Nabi saw.”

Begitu pula Ibnu Hajar di dalam Syarah-nya terhadap Bukhari. Berkata:

“Sesungguhnya Isra’ dan Mi’raj terjadi pada satu malam, dalam keadaan sadar, dengan jasad dan ruh. Pendapat inilah yang diikuti oleh jumhur ulama, ahli hadits, fiqh dan ilmu kalam.”

Beliau menambahkan: “Imam Nawawi berkata dalam syarhu Muslim; “Pendapat yang benar menurut kebanyakan kaum Muslim, ulama salaf, semua fuqaha, ahli hadits dan ahli ilmu tauhid, adalah, bahwa Nabi SAW. di Isra’kan dengan jasad dan ruhnya”.

Kembali kata-kata dan kalimat pada buku tersebut teringat di dalam visualisasi renungan si ibu:

“Di antara dalil yang secara tegas menunjukkan bahwa Isra’ dan Mi’raj dilakukan dengan jasad dan ruh, ialah sikap kaum Quraisy yang menentang keras kebenaran peristiwa ini.” Pikirnya.

“Seandainya peristiwa itu hanya melalui mimpi, kemudian Rasulullah SAW. menyatakannya demikian kepada mereka, niscaya tidak akan mengundang keheranan dan pengingkaran sedemikian rupa.”

“Sebab, penglihatan dalam mimpi, tidak ada batasnya. Bahkan mimpi seperti itu, pada waktu itu, bisa saja dialami oleh orang Muslim dan kafir. Seandainya peristiwa ini hanya dilakukan dengan ruh saja, niscaya mereka tidak akan bertanya tentang gambaran Baitul Maqdis, untuk memastikan dan menentangnya.”

“Mengenai bagaimana mu’jizat ini berlangsung, dan bagaimana akal dapat menggambarkannya, maka sesungguhnya mu’jizat ini tidak jauh berbeda dari mu’jizat alam semesta dan kehidupan ini!”

“Setiap fenomena-fenomena alam semesta, dengan mudah dapat digambarkan dan diterima akal manusia, mengapa mu’jizat ini tidak dapat diterima pula dengan mudah?”

Dan beliau melanjutkan:

“Mu’jizat ialah sebuah kata, yang jika direnungkan, tidak memiliki definisi yang berdiri sendiri. Ia hanya suatu makna yang nisbi.”

“Menurut istilah yang sudah berkembang, mu’jizat ialah setiap perkara yang luar biasa. Sedangkan setiap kebiasaan pasti akan berkembang mengikuti perkembangan zaman, dan berlainan sesuai dengan perbedaan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.”

“Galaksi adalah mu’jizat. Planet adalah mu’jizat. Hukum gaya tarik adalah mu’jizat. Peredaran darah adalah mu’jizat. Dan manusia itu sendiri adalah mu’jizat.”

“Seandainya manusia mau berpikir lebih jauh sedikit, niscaya akan tampak baginya bahwa Allah yang menciptakan mu’jizat seluruh alam semesta ini, tidak pernah kesulitan untuk menambahkan mu’jizat lain. Atau mengganti sebagian sistem yang telah berjalan di alam semesta ini.”

Lanjut beliau pula dalam buku tersebut:

“Seorang Orientalis, Willian Johns, pernah sampai kepada pemikiran seperti ini, ketika mengatakan;

“Kekuatan yang telah menciptakan alam semesta ini, tidak pernah kesulitan untuk membuang atau menambahkan sesuatu kepadanya”.

”Adalah mudah untuk dikatakan, bahwa masalah ini tidak dapat digambarkan oleh akal. Tetapi yang harus dikatakan, bahwa masalah ini tidak tergambarkan! Bukan tidak dapat digambarkan sampai ketingkat adanya alam.”

SEMENTARA ITU, ibu itu melanjutkan renungannya lagi:

“Peristiwa Isra’ Mi’raj ini, juga merupakan salah satu mu’jizat Nabi SAW.. Bahkan sebagian besar kaum Muslim telah sepakat, bahwa Isra’ Mi’raj salah satu mu’jizat Nabi SAW. yang terbesar!”

”………..Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS 4: 169).

“Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu-Akbar!” serunya pula di dalam kekaguman dan keterpesonaan alun bayang dan ingat itu. Penerawangan di atas buku-buku bacaan dan Al Qur’an Suci.

“Maha Suci Allah. Ia Kuasa berbuat apa saja, tanpa siapa pun dapat menghalangi!” ucapnya kemudian dengan mata berbinar. Bersinar dan berseri.

“Apalagi sekadar memperjalankan hamba-Nya dari suatu tempat ke tempat yang lain. Bahkan, ke ruang angkasa, langit tujuh, Sidratul Muntaha, tiada kesusahan bagi-Nya!” teriaknya lantang diiming-imingi dengan pujian kagum dan keyakinan:

“……..Maha Suci Allah. Dia-lah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi…….” (QS 39: 4, 35:1).

Diingatnya pula ayat untuk itu:

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.”(QS 6: 103).

Dan tidak pula dapat dirasa dengan alat indera. Dia tidak dapat diserupakan dengan sesuatu makhluk atau dibandingkan dengan benda.

“……Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS 42: 11).

“IYA!” ibu itu seperti menegaskan. “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia! Tidak ada kekuatan apapun yang sebanding dengan Dia! Tidak ada teknologi militer apapun yang dapat mengalahkan-Nya!”

Mata ibu itu berpendar sinar..berbinar.

“Dia Maha Melihat. Dia Maha Mengetahui. Dia Maha Mendengar!” dan ia teringat pada anak-anak, para lelaki dan perempuan tua, yang menderita dalam kepungan baikot di Gaza.

Bahkan uluran tangan kemanusiaan yang datang untuk menolongpun, harus mendapat gempuran dan serangan. Alangkah biadabnya manusia bila rasa kemanusiaannya telah hilang dan sirna di telan hawa nafsu seraakah dan rasa pongah!

Sementara banyak dari kalangan kaum musliminnya sendiri yang masih acuh dan tak peduli dengan kondisi ini.

Bahkan ikut-ikut pula memboikot dan menyerang. Sedang sebuah terowongan dimana ia bisa memperoleh sesuap nasi dan rezeki, dengan tega dihancurkan.

Bahkan, tembok baja itu dibuat dengan ketamakan kesombongan di atas kebodohan yang tak tersadari.

Atau memang sengaja dan disadari. Karena politik mementingkan diri, bangsa dan Negara, menjadikan mereka lebih kuat menyangga di balik segala macam argumentasi!

Perempuan tua itu miris menangis di atas kepedihan hatinya.

Dan ia ingat bagaimana baginda Rasul-nya SAW. mengaduh dan berkata:

Berkatalah Rasul; “Ya Tuhanku, sesunguhnya kaumku menjadikan al-Qur’an ini sesuatu yang tidak diacuhkan”. (QS 25:30).

Dan ia pun berpikir: “Memang, Kitab Suci yang membawa cahaya terang benderang pada kehidupan dan kejayaan kaum muslimin, sekarang lebih banyak diletakkan di atas lemari pajangan. Isi dan kandungannya, tidak lagi diperhatikan.”

Meringis sedih hati si ibu. Menitik air dari bola matanya, membasahi pipi. Di antara raut kulit kering dilanda usia. Dimakan pikir dan renung yang selalu menagih dan menerpa.

“Duhai Rabbku..bukankah Al Qur’an itu bacaan mulia? Tidak ada padanya kebatilan dari depan maupun belakangnya?” rintihnya.

Diingatnya ayat tersebut:

“Sesungguhnya AlQur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia” (QS 56: 77).

“Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijakasana lagi Maha Terpuji”. (QS 41: 42).


“Al-Qur’an mesti di diperhatikan. Dipahami, diambil pelajaran, dan bukan dicuekkan begitu saja, tanpa manfaat yang diperoleh.” Benaknya bergumam.

“Ini adalah sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran. (QS 38:29).

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an?.......(QS 4:82).

“Sungguh Kami (Allah) telah membuat mudah pada Al Qur’an itu untuk diingat dan difahamkan. Tetapi adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” ( QS 54:17).

“Ya Allah,” jeritnya serentak, “sekarang banyak orang yang tidak memperhatikan Al Qur’an! Acuh dan tak mau mengambil pelajaran. Tertarik, bangga dan senang pada ideologi asing daripada ajaran agamanya sendiri?!”

Dadanya bergemuruh. Mengenang dan mengingat perilaku itu. Lari dan kabur dari ajaran agama, masuk ke perangkap yang dibuat orang lain.

Termasuk para pemimpin, pejabat negeri, rakyat kebanyakan. Individual sosial, dalam skala mayoritas masyarakat muslim dunia.

“Mereka jadi terhina ya Allah!” cetusnya pula mengaduh di dalam hati.

“Dijajah, ditindas, dibuat sengsara di dalam kehidupan. Miskin. Bodoh. Terbelakang. Menjadi bulan-bulanan permainan musuh yang menertawakan, karena meninggalkan Al Qur’an.”

“Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka), dan sesungguhnya al-Qur’an itu adalah Kitab yang mulia. (QS 41: 41)

PADAHAL kemuliaan mereka hanyalah bilamana mereka benar-benar konsekuen menerapkan ajaran agama dan tidak mengingkari dan masabodohkan Al Qur’an.

UMAR BIN ALKHATTHAB r.a. berkata: Bersabda Nabi saw..: “Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat beberapa kaum dengan kitab Qur’an dan akan merendahkan lain kaum dengannya juga.” (H.R. Muslim).

DAN IA JADI INGAT kehidupan di masa Rasul SAW. dan Khulafaur-Rasyidin.

Di mana Allah SWT. telah memuji, dan mengungkapkannya di dalam QS 3:110, dan 2:143:

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah………, “ (QS 3: 110).

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…”. (QS 2: 143).

SEDANG SEJARAH telah mencatat dan menuliskan di dalam lembaran indah periode kehidupan mereka, dalam tinta emasnya.

Saat itu, agama bukan dijadikan embel-embel identitas di atas kartu penduduk seperti sekarang, tapi benar-benar diwujudkan dalam praktek nyata kehidupan sehari-hari.

Sadar. Tahu. Yakin. Bahwa Islam adalah agama Allah yang sempurna dan menyeluruh. Nikmat yang dicukupkan. Agama yang diridhai. Lurus sesuai fitrah.

Dan tidak mengambil yang lain sebagai way of life, sehingga sepak terjang kehidupannya membuat mereka menjadi tercerai berai! (QS 3: 19, 5: 3, 30:30, 6: 153).

KEYAKINAN SERTA PRAKTEK agama inilah, yang menjadikan mereka mulia dan tidak terhina. Apakah ia sebagai individu, dengan status pemimpin, ataukah ia sebagai mahluk sosial, rakyat kebanyakan, dengan status orang yang dipimpin.

Mereka saling berbuat dan bekerja menurut proporsi, di atas status diri sebagai hamba Allah, dengan tanggung-jawab yang dipikul!

DUHAI KITAB SUCI, AL QUR’AN MULIA, di manakah kau sekarang? Pada siapakah kau berada?

DAN PEREMPUAN TUA itu terus mengucurkan air matanya…melihat Gaza dan Palestina, serta potret kehidupan yang dibuat umatnya…yang bernama …kaum muslimin dunia, di atas kuantitas yang layaknya…fatamorgana!


Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

POTRET BATANG